Jumat, 31 Agustus 2007

Kaum Cendekiawan, Berpolitiklah!

Mohammad NasihMahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI
Praktik politik yang seringkali didominasi trik, intrik, dan konflik telah menyebabkan politik berkonotasi negatif. Konotosai seperti itu muncul karena politik oleh sebagian besar pelakunya dimaknai secara sempit sebagai sekadar 'siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana?
Dalam konsep tersebut tak ada pertanyaan 'mengapa' atau 'untuk apa'. Akibatnya, trik, dan intrik politik cenderung mengabaikan etika dan menghalalkan segala cara untuk merebut atau meraih kekuasaan.
Pertanyaan 'mengapa' atau 'untuk apa' berarti sangat penting. Sebab, pertanyaan tersebut mengindikasikan konsep bahwa politik dan kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sekadar sarana atau alat. Jika politik atau kekuasaan adalah sekadar alat, maka menilai bahwa hakikat politik itu kejam dan kotor sesungguhnya adalah kekeliruan cukup fatal.
Politik pada dasarnya bersifat netral. Sekadar contoh, pisau dapur dapat digunakan untuk menyelesaikan urusan dapur. Tapi ia juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan, seperti menusuk/membunuh orang. Contoh sederhana ini memperlihatkan bahwa baik dan buruk sebuat alat tergantung siapa yang menggunakannya. Karena itu, jika realitas politik pada suatu saat tertentu tampak kotor, maka sesungguhnya para pemain politiknyalah yang mengotorinya dengan sikap dan perilaku yang tidak benar.
Politik menurut David Easton merupakan sarana dan area untuk mengalokasikan nilai. Dari Easton inilah, muncul istilah politik alokatif. Easton melihat bahwa dalam politik sesungguhnya terjadi negosiasi untuk mengalokasikan nilai-nilai, tepatnya saat terjadi proses-proses pembuatan kebijakan politik.
Pembawa nilai
Agar tidak kotor, politik perlu diisi oleh politisi yang tidak menjadikan politik atau kekuasaan sebagai tujuan, melainkan sekadar alat untuk mewujudkan tujuan, yakni mewujudkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam praktik pengelolaan negara. Cendekiawan merupakan individu yang memiliki wawasan luas tentang nilai-nilai, sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Karena itu, kaum cendekiawan diharapkan menjadi pengawal dan pejuang dalam mengalokasikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam proses-proses pembuatan kebijakan politik di lembaga-lembaga politik formal kenegaraan.
Jika politik diisi oleh kaum cendekiawan, dapat diharapkan pula terjadi transaksi-transaksi politik yang bernuansa intelektual, bukan semata-mata bernuansa kalkulasi keuntungan finansial. Memang ini bukanlah sesuatu yang mudah, karena banyak sekali tantangan. Sejarah mencatat bahwa pernah terjadi 'pengkhianatan intelektual', yaitu ketika mereka terjun ke dalam politik, tapi ternyata tidak mampu mengubah keadaan. Mereka malah terseret dan larut dalam pusaran arus politik kotor yang sedang berlangsung, dan bahkan ikut menikmatinya. Seharusnya mereka mengubah keadaan dengan kapasitas keilmuan yang mereka miliki.
Karena dalam demokrasi yang berlaku adalah one person one vote, maka yang diperlukan tidak hanya kualitas kecendekiaan politisi, akan tetapi juga kuantitas yang memadai karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi mekanisme voting. Jika kuantitasnya cukup, maka voting akan dapat dimenangkan oleh politisi pembawa dan pejuang nilai. Sayangnya, sebagian (untuk tidak menyebut mayoritas) cendekiawan saat ini enggan masuk ke dalam politik dengan alasan bahwa realitas politik saat ini kotor dan hal itu membuat mereka takut terseret arus atau ikut menjadi kotor.
Sikap ini sesunguhnya tidak tepat. Justru kaum cendekiawan perlu bersikap kritis dan mencurigai bahwa wacana 'politik itu kotor' sengaja dibuat oleh mereka yang ingin menggunakan politik untuk agenda-agenda yang tidak baik. Dengan mewacanakan bahwa 'politik itu kotor', maka orang-orang baik (yang bermoral dan berintegritas) tidak akan tertarik untuk masuk ke dalam politik karena takut dilekati dengan image kotor. Dengan demikian, mereka yang memiliki niat jahat akan dapat lebih mudah menguasai politik, karena tidak ada kompetitor dengan kualitas yang memadai dan kuantitas cukup.
Selain itu, kaum cendekiawan yang tidak mau masuk ke dalam politik, patut dicurigai bahwa sesungguhnya mereka adalah para cedekiawan yang hanya berdiri di menara gading. Mereka melihat ketidakberesan yang terjadi dalam praktik politik, tetapi tidak mau melakukan langkah konkret untuk memperbaikinya, karena mereka sudah berkalkulasi bahwa mereka akan kalah dalam kontestasi politik.
Transaksi politik yang bernuansa intelektual akan lebih menyegarkan dan berjangka panjang dengan adanya kedalaman analisis dan dialektika yang matang pada perdebatan-perdebatan dalam proses pembuatan kebijakan politik. Karena itu, kaum cendekiawan ditantang untuk menjalani praksis politik, untuk membawa, mengawal, memperjuangkan, dan mewujudkan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam kebijakan politik yang bersifat konkret dan aplikatif.
Kalau memang realitas politik adalah kotor, maka justru cendekiawanlah yang memiliki tanggung jawab moral-politik untuk mengubah keadaan tersebut. Kapasitas kecendekiaan yang mereka miliki akan diuji, apakah fungsional atau hanya sekadar teori-teori yang melangit dan tidak mampu diaplikasikan dalam dataran riil. Karena realitas inilah, kaum cendekiawan harus menunjukkan bela rasa, empati, cinta, dan keadilan sebagai respons kecendekiaan. Cendekiawan macam inilah yang masuk dalam kategori cendekiawan organik sebagaimana dikemukakan oleh Gramsci. Menurut Gramsci, cendekiawan organik lebih dibutuhkan untuk mengubah realitas. Dengan wawasan, pengetahuan, dan gagasan yang dimiliki, cendekiawan berpotensi lebih besar untuk melakukan perubahan. Kalau kaum cendekiawan kalah dalam memperjuangkan nilai-nilai kecendekiaan, maka dapat dipastikan bahwa suatu saat nanti akan terbangun konstruksi sosial baru yang tidak jelas lagi mana yang baik dan mana yang tidak baik.
(Sumber: Republika Online Selasa, 28 Agustus 2007)

Selasa, 28 Agustus 2007

Siapkan Konsep Syariat

Parpol Islam harus konsisten pada komitmen memperjuangkan syariat.

JAKARTA -- Menindaklanjuti rekomendasi Silaturahim Ulama se-Nusantara yang menyerukan penegakan syariat Islam di Indonesia, maka menjadi kewajiban bagi partai-partai berasaskan Islam untuk ikut memperjuangkannya lewat parlemen. Bila tidak, berarti selama ini Islam hanya menjadi komoditas politik mereka.
Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Muhammad Alkhaththath, mengatakan, perjuangan menegakkan syariat Islam bisa dilakukan melalui parlemen, asalkan mereka benar-benar menjadikan mimbar parlemen sebagai lahan dakwah. Menjadi tugas ormas Islam pula untuk mendakwahi partai-partai Islam.
''Ada yang bilang tak mungkin. Padahal bisa, dengan catatan anggota parlemen komitmen dengan syariat Islam. Satu catatan lagi, hanya bisa dari partai yang terbina dakwah Islam,'' katanya, usai diskusi tentang khilafah Islam, di Jakarta, Senin (27/8).
Partai Islam juga harus menyiapkan konsep Islam dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dan pertahanan. ''Kalau memang betul-betul mengaku partai Islam harus siapkan konsep dan mengkaji secara syariat. Jangan hanya label Islam saja, tapi harus benar-benar adopsi ide-ide Islam,'' kata Alkhaththath.
Namun dia tak mau mengomentari apakah selama ini partai Islam sudah memperjuangkan ide-ide Islam atau sekadar tempel label Islam. ''Kita berprasangka baik saja,'' ujarnya.
Perjuangan sulit
Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, juga meminta partai-partai Islam di parlemen untuk bersikap tegas dalam masalah syariat dan tak melakukan kompromi. ''Harus tegas partai-partai itu di parlemen. Kalau tak bisa tegas tak perlu jadi partai,'' kata Ba'asyir.
Namun dia mengingatkan, memperjuangkan syariat Islam dalam sistem demokrasi akan sulit. Sebab, bisa saja aturan yang sesuai syariat atau notabene perintah Tuhan, akan divoting dan bisa kalah oleh suara makhluknya.
''Masak perintah Allah kalah dengan 'resep dokter'. Apa ada resep dokter juga divoting?'' ujar Ba'asyir. Sementara Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, menegaskan perlunya sikap konsisten dari partai-partai Islam untuk memperjuangkan syariat, bukan hanya menjadikannya sebagai komoditas politik.
''Sekarang ini tak jelas, kadang gonta-ganti antara politisasi Islam dengan islamisasi politik,'' kata Ismail. Namun dia sendiri mempertanyakan, apakah mungkin syariat bisa menjadi sistem dominan. Misalnya dalam ekonomi Indonesia yang menerapkan dual system, yaitu ekonomi konvensional dan syariah, padahal keduanya bertolak belakang.
Keduanya bisa hidup berdampingan bila dalam posisi supra struktur dan sub struktur. Tapi terbukti ekonomi Islam selama ini hanya menjadi subordinat sistem ekonomi konvensional.
''Kalau memang begitu kita harus terima syariah menjadi subsistem saja. Tapi ini tak bisa disebut melaksanakan syariah dan juga tak akan pernah menyelesaikan masalah ekonomi,'' tandas Ismail.
(Sumber: Republika Online - Selasa, 28 Agustus 2007)

Rabu, 01 Agustus 2007

Membangun Citra Partai Islam

*) Catatan tentang disorientasi partai Islam

Kelahiran kembali banyak partai di negeri ini tak pelak lagi memunculkan kerancuan jati diri dan citra partai oleh ketiadabedaan yang jelas antar satu partai dengan partai lainnya. Kemiripan ide yang dilontarkan hingga pola koalisi lintas platform dan bersifat sesaat semakin mengaburkan citra. Bukan hanya antar partai berbasis nasionalis ataupun antar partai berbasis Islam, bahkan partai berbasis Islam pun mulai sulit dibedakan dengan partai berbasis nasionalis.
Faktor pembeda yang nampak saat ini bukanlah terletak pada ke-khas-an platform dan program gerak partai tetapi lebih pada basis social massa dan ormas underbow-nya, misalnya PKB – NU, PAN – Muhammadiyah, PKS – Tarbiyah. Akan tetapi sebaliknya basis massa tersebut bisa diperebutkan oleh beberapa partai, misalnya pada warga Muhammadiyah bukan hanya ada PAN tetapi juga PBB, PPP, juga PKS. Begitu juga pada basis massa NU bisa ada PKB, PPP dan mungkin yang lainnya.
Citra bagi sebuah partai sangatlah berarti untuk menguatkan image di benak rakyat, apalagi jika dikaitkan dengan pemungutan suara. Eksistensi partai di kancah percaturan politik ditentukan terutama oleh pemilih. Partai yang kuat daya tariknya bagi masyarakat akan eksis dan yang lemah bisa ditinggalkan masyarakat.
Cara yang biasanya digunakan partai untuk mengangkat citranya misalnya dengan memasang public figure semisal ulama atau cendekiawan yang dikenal luas, mantan petinggi militer, atau setidaknya artis bahkan pelawak. Atau dengan memblow-up publikasi dengan berbagai media, membuat jargon, event bantuan social bernuansa politis, atau bahkan permainan isu murahan.
Hal yang lebih mendasar dalam membangun ikatan partai dengan konstituennya sangat minimal atau bahkan tidak dilakukan. Partai sebagai institusi tentunya memperjuangkan suatu konsep pemikiran politik Islam untuk menata masyarakat. Jika konsep pemikiran ini bisa dipahami oleh masyarakat minimal kader dan simpatisannya tentu akan menjalin ikatan yang lebih kokoh. Dalam hal ini berarti partai melakukan fungsi edukasi kepada masyarakat yang akan berimbas kepada kuatnya dukungan oleh kesamaan visi dan pandangan.
Yang kedua adalah pendekatan partai kepada rakyat untuk mengetahui kondisi dan menyerap aspirasi. Dengan demikian ada sinergi perjuangan antara partai dan rakyat.
Selanjutnya diperlukan keseriusan dalam mencermati dan mengkoreksi kebijakan–kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat apalagi bertentangan dengan syariat. Dan tentunya juga harus dibarengi dengan keteladanan dari para aktivis partai dan menjaga dari perpolitikan kotor dan tindakan tercela sebagai bagian dari dakwah.
Dengan pola pendekatan seperti ini tentunya akan lebih mengokohkan citra partai dalam benak pemikiran dan perasaan masyarakat secara permanent, bukan sekedar kedekatan sesaat menjelang pemungutan suara.
...ilal-khoiri...