Selasa, 31 Juli 2007

Mengembalikan Fungsi Parpol Islam

*) Catatan polemic disfungsi peran parpol

PAKET RUU Politik saat ini sedang dibahas DPR yang diwarnai degan perdebatan tentang electoral threshold (ET) yaitu 5% untuk membatasi jumlah partai peserta pemilu. Seolah mengulang masa lampau, di Indonesia pernah diramaikan banyak partai. Keberadaan lembaga MPRS, DPRGR, dan DPDGR yang terbentuk sebagai hasil konsensus, bukan hasil pemilu, berakhir setelah bergulirnya Pemilu 1971 yang disusul langkah penyederhanaan partai menjadi tiga kekuatan organisasi politik. Anggota DPR dan MPR bukan hanya dari kalangan anggota parpol hasil pemilu, 20% di antaranya lewat mekanisme pengangkatan pemerintah terdiri atas unsur ABRI dan non-ABRI. Setelah lahirnya gerakan reformasi. Kebebasan berserikat telah memunculkan banyak parpol yang asasnya beragam-ragam. Lahirnya paket undang-undang yang mengharuskan seluruh anggota lembaga legislatif adalah wakil parpol berdasarkan hasil pemilu.
Perdebatan ini bisa ditebak karena menyangkut kekuasaan sebagai salah satu tujuan partai. Dengan jumlah partai yang kecil akan mempermudah membentuk pemerintahan karena partai pemenang pemilu tidak dituntut melakukan koalisi besar. Partai politik seolah hanya berfungsi sebagai batu loncatan aktivisnya untuk meraih jabatan-jabatan publik dan berupaya mempertahankan jabatan itu.
Hal yang tidak pernah terbahas adalah tentang keterwakilan aspirasi masyarakat. Wajar jika masyarakat mempertanyakan keterwakilan aspirasi mereka, atau bahkan semakin apatis dengan keberadaan partai.
Partai sebagai sebuah institusi politik seharusnyalah mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis, baik itu fungsi edukasi, agregasi maupun penyalur aspirasi. Fungsi yang jarang difungsikan adalah sebagai penyalur aspirasi rakyat. Kinerja wakil rakyat pada hakikatnya merupakan wajah parpol. Kinerja dan produktivitas wakil parpol di lembaga-lembaga legislatif sering tidak selaras malah berseberangan dengan kepentingan masyarakat, tidak memperjuangkan aspirasi masyarakat Pada saat terjadi konflik kepentingan antara membela rakyat atau membela kekuasaan, partai cenderung membela kekuasaan. Partai-partai lebih berorientasi pada kekuasaan, lebih cenderung menyelamatkan koalisi dengan kekuasaan ketimbang sebagai penyalur aspirasi rakyat. Pada titik ini kita melihat partai berjarak sangat jauh dengan aspirasi rakyat. Contoh kasus melempemnya interpelasi kasus semburan lumpur Lapindo.
Fungsi edukasi politik kepada masyarakat malahan hampir tidak pernah dijalankan, justru masyarakat seringkali disuguhi dengan janji kosong dan isu murahan.
Kebanyakan partai saat ini tidak mempunyai program ideologi yang jelas, antara partai yang satu dengan partai yang lain hampir tidak memiliki perbedaan program ideologi. Bahkan yang mengklaim sebagai partai Islam pun tiada jauh berbeda dengan partai sekuler baik dalam program dan isu yang diangkat maupun perilaku politik kepartaiaannya.
Khususnya bagi partai yang berbasis massa Islam perlu segera dilakukan pembenahan. Langkah yang paling mendasar adalah kejelasan ideologis yang diperjuangkan. Landasan ideologis ini sebagai landasan konsep-konsep pemikiran yang diperjuangkan serta pedoman perilaku politik kepartaiaannya.
Partai Islam tentunya mempunyai konsep – konsep tata kehidupan ekonomi, politik, social, budaya, hukum yang bersumber dari syara’ yang akan digunakan untuk membina kader, mendidik masyarakat, meluruskan penyimpangan penguasa, serta diperjuangkan secara konsisten bersama konstituen dan elemen Islam lainnya. Inilah peran dan fungsi partai Islam yang jelas membedakan dengan partai – partai lainnya. Wallahu’alam.

…ilal-khoiri…